ALKISAH, seorang pendeta bernama Buhairah menarik diri dari gereja dan memutuskan hidup menyepi. Dalam kesendiriannya, dia menenggelamkan diri ke dalam kajian tehadap buku-buku Kristen. Namun upaya itu tak berhasil menghilangkan “kegelisahan” teologisnya.
Suatu saat, di dalam satu buku, Buhairah menemukan sebuah ramalan. Tentang tanda kenabian yang akan dilihatnya pada punggung seorang bocah kecil. Sebagaimana tercatat dalam sejarah Islam klasik, pada akhirnya Buhairah menemukan tanda kenabian itu di punggung muhamad SAW, yang kelak diangkat menjadi Rasul Allah.
Berangkat dari momentum pertemuan antara Buhairah dan Muhammad, Al Shawni memulai kisahnya. Tokoh Buhairah yang digambarkan sedang mengalami skeptisisme personal terhadap keesaan Tuhan diajak Rasulullah. Dia dibawa ke sebuah tempat yang jauh dari hiruk-pikuk keramaian, yang hanya diterangi kerlip dan redupnya bintang.
Di kesunyian itu, Buhairah mengalami komunikasi trsnsendental dengan sosok makhluk gaib yang tak lain adalah iblis. Mulai dari titik ini, pengarang menunjukkan “keliaran” imajinasi untuk meruncingkan konflik di dalam “tubuh” novelnya. Dengan teknik dan langgam penggisahan yang unik, Al-Shawni mendeskripsikan egosentrisme iblis.
Ketika pendeta Buhairah mempertanyakan latar belakang kesombongan iblis yang menolak sujud pada Adam, pengarang memanfaatkan moen itu untuk merumukan dalil-dalil filosofis dalam rangka menarasikan penggugatan iblis. Jelas sekali, Al-Shawni hendak menggelindingkan diskursus baru tentang riwayat pembangkangan iblis yang menolak sujud pada Adam.
Menurut Al-Shawni, penolakan iblis, yang kelak menjadi sebab keterkutukannya, bukan karena latar belakang ontologism. Bahwa iblis diciptakan dari api, sementara Adam hanya diciptakan dari tanah, sebagaimana penafsiran konvensional. Namun justru karena eksistensi Adam adalah pencerminan dosa-dosa iblis. Jadi, mana mungkin iblis mau bersujud pada cermin yang memantulkan buruk rupa wajahnya sendiri?
Bagi khalayak pembaca umum, membaca karya sastra adalah “menikmatinya”, bukannya menggali aspek-aspek kebenaran epistemologisnya. Jika pada paragraf-paragraf awal sebuah novel pembaca tak berhasil “meraih” kenikmatan dengan gambang mereka akan menutupnya.
Tetapi, sebagaimana diusung oleh Al-Shawni di dalam buku ini, barangkali membaca sastra tak cukup kalau sekedar menikmati. Pembaca perlu pemahaman yang intens, penafsiran kritis, dan yang lebih penting adalah penyingkapan misteri kebenaran epistemologis karya sastra sampai ceruk paling dalam.
Dalam buku ini, Al- Shawni seperti sedang mendadani karakter bejat iblis dengan jubah kebesaran filsuf yang penuh aura kearifan dan kejeniusan. Ia berhasil menggunakan metode adab al-jadl. Metode ini semacam kode etik berpolemik di kalangan pemikir muslim Abad Pertengahan, seperti muncul pada debat Buhairah dengan iblis.
Suatu saat, di dalam satu buku, Buhairah menemukan sebuah ramalan. Tentang tanda kenabian yang akan dilihatnya pada punggung seorang bocah kecil. Sebagaimana tercatat dalam sejarah Islam klasik, pada akhirnya Buhairah menemukan tanda kenabian itu di punggung muhamad SAW, yang kelak diangkat menjadi Rasul Allah.
Berangkat dari momentum pertemuan antara Buhairah dan Muhammad, Al Shawni memulai kisahnya. Tokoh Buhairah yang digambarkan sedang mengalami skeptisisme personal terhadap keesaan Tuhan diajak Rasulullah. Dia dibawa ke sebuah tempat yang jauh dari hiruk-pikuk keramaian, yang hanya diterangi kerlip dan redupnya bintang.
Di kesunyian itu, Buhairah mengalami komunikasi trsnsendental dengan sosok makhluk gaib yang tak lain adalah iblis. Mulai dari titik ini, pengarang menunjukkan “keliaran” imajinasi untuk meruncingkan konflik di dalam “tubuh” novelnya. Dengan teknik dan langgam penggisahan yang unik, Al-Shawni mendeskripsikan egosentrisme iblis.
Ketika pendeta Buhairah mempertanyakan latar belakang kesombongan iblis yang menolak sujud pada Adam, pengarang memanfaatkan moen itu untuk merumukan dalil-dalil filosofis dalam rangka menarasikan penggugatan iblis. Jelas sekali, Al-Shawni hendak menggelindingkan diskursus baru tentang riwayat pembangkangan iblis yang menolak sujud pada Adam.
Menurut Al-Shawni, penolakan iblis, yang kelak menjadi sebab keterkutukannya, bukan karena latar belakang ontologism. Bahwa iblis diciptakan dari api, sementara Adam hanya diciptakan dari tanah, sebagaimana penafsiran konvensional. Namun justru karena eksistensi Adam adalah pencerminan dosa-dosa iblis. Jadi, mana mungkin iblis mau bersujud pada cermin yang memantulkan buruk rupa wajahnya sendiri?
Bagi khalayak pembaca umum, membaca karya sastra adalah “menikmatinya”, bukannya menggali aspek-aspek kebenaran epistemologisnya. Jika pada paragraf-paragraf awal sebuah novel pembaca tak berhasil “meraih” kenikmatan dengan gambang mereka akan menutupnya.
Tetapi, sebagaimana diusung oleh Al-Shawni di dalam buku ini, barangkali membaca sastra tak cukup kalau sekedar menikmati. Pembaca perlu pemahaman yang intens, penafsiran kritis, dan yang lebih penting adalah penyingkapan misteri kebenaran epistemologis karya sastra sampai ceruk paling dalam.
Dalam buku ini, Al- Shawni seperti sedang mendadani karakter bejat iblis dengan jubah kebesaran filsuf yang penuh aura kearifan dan kejeniusan. Ia berhasil menggunakan metode adab al-jadl. Metode ini semacam kode etik berpolemik di kalangan pemikir muslim Abad Pertengahan, seperti muncul pada debat Buhairah dengan iblis.
No comments :
Post a Comment